-->

'Bahasa Senja' Dari Bahasa Sansekerta: "sandhybhasa"


Bahasa Sansekerta Senja adalah ‘sandhyA’ सन्ध्या (saat matahari baru terbenam/ temaram). Ini adalah kasus morfologi fonetis: ‘san-dhyA’ menjadi ‘sen-ja’.

Dipilihnya kata sandhyA untuk terminologi Sandhybhasa (dalam sansekerta) – yang diterjemahkan menjadi ‘Twilight language‘ dalam bahasa Inggris – didasari pandangan bahwa makna esensi yang dikandung Sandhybhasa terlihat seperti penglihatan samar-samar yang kita alami dalam situasi temaram senja (sore).

Jika dalam bahasa Inggris Sandhybhasa diterjemahkan menjadi ‘Twilight language‘ maka dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi “bahasa Sandi”. Seperti kita ketahui, ‘bahasa sandi’ adalah bahasa yang tidak kita ketahui secara jelas makna sebenarnya.

Jadi, dari kata sandhyA (dalam bahasa sansekerta) kita mendapat dua kata dalam bahasa Indonesia, yaitu: Senja dan Sandi.

Dalam ilmu bahasa, Terminologi ‘Twilight language‘ atau ‘Sandhybhasa‘ dikenal dengan istilah bahasa polisemik (kata atau frasa yang memiliki banyak makna), bisa dikatakan merupakan wujud pengaplikasian gaya metafora untuk menyamarkan pesan-pesan sakral.

Metafora adalah gaya bahasa yang umum digunakan leluhur kita di masa kuno dalam mengungkap sesuatu. Terutama terhadap peristiwa, figur, atau hal-hal apapun yang dianggap sangat sakral dan sifatnya suci oleh mereka. Suatu wahyu juga termasuk dalam hal ini.

Selain sebagai wujud penghormatan terhadap apa yang dianggap Sakral tersebut, kenyataannya, gaya bahasa metafora memang memiliki kedalaman atau keluasan makna yang bisa dikatakan tepinya tak terjangkau nalar, sehingga dengan demikian bernuansa kesadaran kosmis.

Aristoteles dalam The Poetics mengatakan bahwa metafora adalah pemberian hal (dalam) sebuah nama yang merupakan milik sesuatu yang lain. Dalam perspektif yang lain, kita dapat mengartikan metafora sebagai instrumen komunikasi yang bersifat simbolik, dimana makna yang dimiliki simbol tersebut dapat dimanfaatkan dalam upaya memahami hal-hal tersirat yang terekam dalam suatu pesan.

Hermeneutika sebagai metode yang digunakan untuk menafsirkan makna-makna simbolik dalam bahasa metafora, berasal dari nama Hermes (dewa dalam mitologi Yunani kuno), dianggap sebagai penyampai pesan langit kepada manusia di bumi.

Hermes sering digambarkan sebagai makhluk seperti manusia dengan kaki bersayap. Prof. Abdul Hadi W.M. dalam buku Hermeneutika Sastra Barat dan Timur (2014) menginterpretasi penggambaran Hermes tersebut sebagai wujud ilustrasi “pesan-pesan simbolik” (perlambangan pesan ) dari Hermes, yang berfungsi sebagai sarana bagi manusia untuk melakukan penerbangan menuju kebenaran yang tempatnya berada di alam metafisik.

Menurut Prof. Abdul Hadi (2014: 26), untuk dapat melakukan tugasnya dengan baik, Hermes dituntut menguasai pesan dari dewa, maksud, dan tujuan dari pesan itu, dan untuk keperluan apa pesan itu disampaikan, serta dalam situasi apa.

Agar dapat menyampaikan pesan dewa dengan baik, Hermes harus menguasai [pula] bahasa manusia dan mampu mengurai pesan yang harus disampaikan secara artikulatif melalui bahasa yang dikuasainya. 

Terkait hal inilah, maka, penting bagi seorang ahli hermeneutika dalam memperhatikan aspek kesejarahan dan kebahasaan dari teks atau wacana yang ditafsirkan.

Lebih jauh menurut Prof. Abdul Hadi, dalam pengertian ini, bahasa memiliki kedudukan penting sebagai media penyampai pesan atau makna. Isi makna itu ialah “kebenaran” yang berasal dari alam ketuhanan. Bahasa juga merupakan simbol dan seperti sebuah simbol, ia merupakan tangga naik mencapai sesuatu yang bersifat keruhanian. 

Aspek keruhanian ini bisa dikatakan sejalan dengan kutipan Plato dalam Timaeus, bahwa, Hermeneutika dikaitkan dengan peran seseorang yang memiliki wewenang atas suatu kebenaran, yang tidak lain ialah para nabi atau utusan Tuhan yang berperan sebagai penghubung Tuhan dengan manusia.

Menurut Plato, seorang penafsir harus melakukan perenungan yang dalam dan membersihkan kalbu bagi persiapan turunnya ilham.

Pernyataan Prof. Abdul Hadi, atau pun Plato di atas, pada dasarnya sejalan dengan apa yang telah saya ungkap dalam banyak tulisan sebelumnya, bahwa, bukanlah suatu kebetulan jika orang-orang pandai di masa kuno selain memiliki ilmu pengetahuan yang mendalam, ia juga memiliki ketinggian spiritual yang baik, karena memiliki kemurnian bathin adalah prasyarat untuk mengetahui hal-hal yang bersifat esensi.

Saya percaya bahwa informasi yang dikemas “secara metafora” adalah otentik, dan adalah merupakan buah karya seorang yang suci, yang memiliki visi tersendiri dalam menyimpan informasi dengan cara seperti itu. Visi tersebut bisa jadi merupakan bentuk penyesuaian dengan suatu mekanisme metafisika yang berlaku di alam semesta. 

Dengan dikemas secara samar dalam bentuk bahasa metafora,makna sakral yang ingin dijaga orisinalitasnya, akan terhindar dari kondisi termanipulasi secara sengaja maupun tidak disengaja.

Bisa dikatakan, apa yang telah saya tulis dalam lebih dari seratus artikel di akun Kompasiana saya sejauh ini, merupakan langkah nyata pengungkapan pesan-pesan sakral yang dikemas dalam bahasa metafora oleh para orang-orang suci di masa kuno. 

Karena itu, sebelum saya bertemu dengan uraian penjelasan tentang hermeneutika  seperti yang diungkap Plato, Aristoteles, Prof. Abdul Hadi dan masih banyak ahli lainnya, penjelajahan esensi yang saya lakukan selama ini telah membuat saya secara mandiri menyadari “tengah berurusan dengan apa.” 

Tentu saja saya kemudian merasa senang, ketika dalam perjalanan selanjutnya, saya menemukan penjelasan-penjelasan dari para ahli yang sejalan dengan kesimpulan-kesimpulan hipotetis yang saya bangun berdasar pengalaman yang saya temukan.

Bisa dikatakan, pembahasan dalam beberapa artikel saya selama ini dapat menjadi contoh kasus bagaimana gaya bahasa Metafora diaplikasikan dalam pesan-pesan simbolis nan sakral oleh orang suci di masa kuno. Misalnya pada artikel “Makna Sakral di Balik Nama-nama Angka” dan “Formasi Unik dan Filosofi yang Dikandung Nama Angka dalam Bahasa Indonesia.”

Bahasa Senja (Twilight language)

“Bahasa senja” diasosiasikan dengan tradisi tantra dalam Buddhisme Vajrayan dan Hinduisme. Teks tantra sering kali ditulis dalam bentuk bahasa senja yang tidak dapat dipahami oleh pembaca yang belum tahu. 

Sebagai bagian dari tradisi inisiasi esoterik, teks-teks tersebut tidak boleh digunakan oleh mereka yang tidak memiliki pemandu berpengalaman.

Bahkan, bisa dikatakan jika fungsi dari penggunaan bahasa senja (dalam naskah tantra misalnya) adalah untuk memastikan bahwa yang belum tahu… tidak akan dengan mudah mendapatkan akses ke pengetahuan yang terkandung dalam karya-karya tersebut.

Menurut Judith Simmer-Brown, teks tantra yang ditulis dalam “bahasa senja” (sandha-bhasa), seperti yang dinyatakan dalam tantra Hevajra, adalah “bahasa rahasia, kesepakatan agung para yogi , yang mana para shravaka dan orang [yang terkait dengannya] tidak bisa melepaskan diri. Ini berarti bahwa teks-teks tantra Buddha tidak dapat dipahami tanpa komentar lisan khusus dari guru Vajrayana yang berwenang. (sumber di sini)

Menurut Bucknell dan Stuart-Fox, dalam tradisi Vajrayana, yang sekarang dilestarikan terutama di sekte-sekte Tibet, telah lama diketahui bahwa ajaran penting tertentu diekspresikan dalam bentuk bahasa simbolik rahasia yang dikenal sebagai “Samdhya-bhasa” (Bahasa Twilight).

Apa yang telah saya ungkap dalam artikel “Makna Sakral di Balik Nama-nama Angka” dan “Formasi Unik dan Filosofi yang Dikandung Nama Angka dalam Bahasa Indonesia,” ternyata terbukti sejalan dan memang diterapkan dalam tradisi tantra. Angka, numerologi, dan spiritualitas angka adalah kunci bahasa senja dan endemik Vajrayana, seperti halnya di seluruh agama India lainnya. 

Seperti yang dikatakan Bucknell dan Stuart-Fox, makna angka-angka tertentu secara implisit ditempatkan pada kelompok air, api dan ruang. Ini jelas berkorelasi dengan temuan saya dalam makna nama-nama angka dalam bahasa tradisional di Indonesia. Berikut kembali saya kutip:

(1; messa) satu
(2; daddua) dadu = bentuk simbolis dari takdir atau nasib
(3; tallu) selanjutnya atau kemudian (tallu = tarru; merupakan bahasa tae yang berarti selanjutnya atau kemudian)
(4 & 5; appa-lima) dituangkan atau dipindahkan (appalima merupakan bahasa tae’ yang artinya dituangkan atau dipindahkan)
(6; annang) [di] tempat atau wadah (annang atau inang merupakan bahasa tae’ yang artinya tempat atau wadah)
(7; pitu) [unsur] udara (mengacu pada rasi bintang biduk. sebutan “pitu” dapat diduga merupakan bentuk perubahan morfologi dari kata bidu’ atau biduk. Letaknya di langit menjadikannya mewakili unsur udara)
(8; waru) [unsur] air (waru terkait dengan nama Dewa Waru-na sebagai dewa laut mewakili unsur air)
(9; siwa) [unsur] tanah (Dewa Siwa dengan nama lain Girisa yang artinya gunung, menjadikannya dapat dianggap mewakili unsur tanah)
(10; sangpulo) [unsur] api (dengan melihat morfologi bentuk kata dasar, dari bentuk “pulo”, “pulu”, “wara” hingga ke bentuk “bara” -yang mana “bara” kita ketahui identik dengan api, maka dengan demikian angka sepuluh mewakili unsur api).

Agar lebih jelas, ungkapan yang bermain simbol dan filosofi ini, dapat kita ringkas menjadi kalimat: “SATU TAKDIR KEMUDIAN DITUANGKAN/DITEMPATKAN KE DALAM WADAH YANG TERBUAT DARI UNSUR ANGIN, UNSUR AIR, UNSUR TANAH DAN UNSUR API.” Kalimat ini mengacu pada esensi Manusia sebagai entitas mikro kosmos yang terwujud dari empat unsur, yang sepanjang perjalanan hidupnya adalah tentang menjalani takdir yang telah digariskan Sang Pencipta.

Sekian. Semoga bermanfaat. Salam.

LihatTutupKomentar