Menelusuri jejak hijrah atau migrasi Nabi Ibrahim pada masa lalu adalah hal yang penting, karena terkait erat dengan sebuah hadist Nabi Muhammad yang menyebutkan: “ada hijrah setelah hijrah… Orang-orang akan menuju ketempat Nabi Ibrahim pernah hijrah…”
Pertanyaannya, dimanakah sesungguhnya letak tempat hijrah Nabi Ibrahim tersebut?
Dalam tulisan sebelumnya (“Siang River” (Sungai Siang) Nama lain Sungai Brahmaputra, Bukti Kaum Madyan Berasal dari Kawasan Benggala), telah saya ulas mengenai kemungkinan nama Madyan (putra Nabi Ibrahim dari Istrinya yang bernama Keturah) berasal dari nama wilayah di mana ia lahir, yaitu ‘Madhyanagar’ yang artinya ‘Negeri tengah’ dalam bahasa Sanskrit ataupun bahasa India dan Bengali.
Telah pula saya jelaskan dalam tulisan “Temuan Jejak (Terkini) Orang Madyan, Aikah, dan Rass yang Disebut dalam Al-Quran” bahwa sebutan nama Madhyanagar yang meliputi wilayah Bangladesh dan sekitarnya pada hari ini (termasuk negara bagian india; Meghalaya dan Assam), berasal dari konsep pembagian wilayah di muka bumi di masa kuno, yang menempatkan wilayah tersebut tepat di tengah-tengah antara wilayah timur dan wilayah barat bumi.
Hal tersebut, bahkan hingga hari ini dapat kita saksikan kebenarannya, dengan mencermati bahwa wilayah tersebut berada di garis bujur 90 derajat, dengan merujuk pada konsep modern bahwa titik meridian (0 derajat) berada di Greenwich, dan Anti meridian (titik garis bujur 180 derajat) berada di ujung timur, yakni di wilayah Tuvalu (sebuah negara di samudera pasifik).
Adanya bukti kuat bahwa Madyan putra Nabi Ibrahim terlahir di wilayah Benggala, membuka dugaan lain jika Nabi Ibrahim pun pernah pula hadir di wilayah ini. Mengenai dugaan ini, telah pula saya ulas dalam tulisan lainnya (“Meghalaya” Sisi Paling Bersejarah di Bumi yang Jarang Diketahui (dan Sebagai Wilayah Tujuan Hijrah Nabi Ibrahim di Masa Kuno).
Dalam tulisan tersebut, saya menunjukkan bahwa mencermati tahun masa hidup Nabi Ibrahim yakni sekitar 2166 SM membuka ruang hipotesis lain bahwa bencana kekeringan yang menyebabkan Nabi Ibrahim melakukan hijrah atau migrasi (diisyaratkan dalam Al Quran surat Al Ankabut ayat 26, dan banyak diriwayatkan dalam tradisi agama samawi), memiliki korelasi dengan bencana kekeringan panjang (Megadrought) yang terdeteksi oleh ilmuwan geologi memang pernah terjadi dikisaran 4200 tahun yang lalu, atau di masa hidup Nabi Ibrahim.
Dalam tulisan itu juga, saya memaparkan beberapa bukti jika tujuan dari Migrasi Nabi Ibrahim adalah kawasan Teluk Benggala.
Untuk lebih mendukung hipotesis saya terkait subyek ini, dalam tulisan kali ini saya akan kembali memaparkan beberapa hal, yang bisa dikatakan sebagai “jejak migrasi Nabi Ibrahim” di wilayah Benggala, yang kali ini sumber informasinya berasal dari kepercayaan kuno komunitas ‘Dimasa’, penduduk asli di wilayah Assam dan sekitarnya.
SEKILAS TENTANG ORANG DIMASA
Orang Dimasa (juga disebut Dimasa-Kachari) adalah komunitas etnis asli dan dianggap sebagai penghuni tertua yang mendiami negara bagian Assam dan Naga land di India timur laut.
Mitologi Dimasa mengatakan mereka adalah anak-anak ‘Bangla Raja’ (Dewa Gempa Bumi), dan burung ilahi ‘Arikhidima yang agung’. Ada enam putra Bangla Raja, yaitu: Sibarai, Alu Raja, Naikhu Raja, Waa Raja, Gunyung Braiyung and Hamiadao.
Orang Dimasa membentuk komunitas masyarakat “tertutup”. Karakteristik yang sangat mencolok dari komunitas Dimasa adalah bahwa mereka memiliki keturunan ganda: mereka melacak klan mereka dengan dua garis, yaitu, patriclan (klan dari garis keturunan bapak) dan matriclan (klan dari garis keturunan ibu). (sumber di sini)
Ada empat puluh garis klan laki-laki ( disebut: sengphong – “pemegang pedang”), dan ada empat puluh dua garis klan perempuan ( disebut: jalik atau julu ). [Ramirez “Politico-ritual variations on the Assamese fringes: Do social systems exist?”, 2007: 91–107 ]
Kata Dimasa secara etimologis diterjemahkan menjadi “Anak sungai besar” (Dima=sungai; sa=anak), sungai yang dimaksud yaitu sungai Brahmaputra, yang pada dasarnya berarti “putra brahma” (putra Abraham).
Di sisi lain, ada juga yang berpendapat jika kata ‘dima’ merujuk pada nama ‘Arikhidima’ (istri Bangla Raja) yang berarti dima-sa artinya ‘anak-anak dima’ (menonjolkan garis matriarki).
Demikianlah sekelumit profil orang Dimasa.
Hal menarik pada orang Dimasa yang terkait dengan subyek hipotesis saya bahwa Benggala adalah tujuan migrasi Ibrahim di masa lalu, yaitu kepercayaan kunonya bahwa: 60,000 bulan yang lalu leluhur mereka bermigrasi meninggalkan tanah leluhur akibat terjadi bencana kekeringan.
Angka 60,000 bulan ini sama dengan 5000 tahun yang lalu. bisa dikatakan mendekati angka masa hidup Nabi Ibrahim (2166 SM), dan mendekati pula masa terjadinya bencana kekeringan panjang (Megadrought) yang menurut ilmuwan geologi terjadi dikisaran 4200 tahun yang lalu.
Sangat dapat diduga bahwa yang dimaksud leluhur orang Dimasa yang bermigrasi 60,000 bulan yang lalu akibat kekeringan adalah Nabi Ibrahim. Karena dalam banyak riwayat pun disebutkan bahwa penyebab hijrahnya nabi Ibrahim adalah untuk menghindari bencana kekeringan.
Terlebih lagi, tradisi kuno orang Dimasa menyebutkan bahwa dari leluhur mereka itu (yang bernama Bangla Raja dan istrinya Arikhidima), terlahir 6 putra (yaitu: Sibarai, Alu Raja, Naikhu Raja, Waa Raja, Gunyung Braiyung and Hamiadao). Jumlah ini sama persis dengan jumlah putra Nabi Ibrahim yang terlahir dari Istrinya yang bernama Keturah (yaitu: Zimran, Jokshan, Medan, Madyan, Ishbak, dan Shuah).
Diceritakan dalam tradisi kuno Dimasa, bahwa setelah cukup lama leluhur mereka berpindah-pindah tempat, akhirnya mereka memutuskan menetap di Dilaobra Sangibra, yaitu di wilayah pertemuan sungai Brahmaputra dengan sungai Gangga. Berikut screenshot kutipannya dalam situs self.gutenberg.org…
Ada kemungkinan jika dari nama leluhur orang Dimasa ‘Bangla Raja” inilah nama negara ‘Bangla-desh’ berasal.
SOSOK ARIKHIDIMA YANG TERIDENTIFIKASI SEBAGAI HAJAR ATAU KETURAH
Hal menarik yang perlu pula dicermati dari tradisi orang Dimasa adalah profil leluhur mereka dari garis ibu “Arikhidima” yang nampaknya memiliki pengaruh yang signifikan dalam komunitas etnis Dimasa.
Jika pada etimologi ‘Dimasa’ masih berbagi makna etimologi pada garis patriarki, yakni selain bermakna ‘anak-anak dima’, juga bermakna ‘anak sungai besar’ yang merujuk pada sungai Brahma putra (putra Brahma) maka, pada bentuk nama lain Dimasa yaitu ‘Kachari’ atau ‘Kachar’, tinjauan fonetisnya sangat dekat ke arah bentuk ‘Hajar’, dengan kata lain maknanya mutlak hanya merujuk pada garis matriarki.
Memang, dalam riwayat Yahudi ataupun Kristiani disebutkan bahwa anak nabi Ibrahim yang bernama Madyan atau Midian berasal dari istrinya yang bernama Keturah, dan jika mempertimbangkan bahwa sebutan ‘Madyan’ tersebut berasal dari nama wilayah tempat di mana ia dilahirkan yaitu di negeri madyan atau negeri tengah maka, dengan sendirinya kita dapat berpikir jika istri nabi Ibrahim ketika bermigrasi ke wilayah ini adalah Keturah.
Teka-teki ini akan terjawab hanya dengan menganggap jika Keturah adalah nama lain Hajar. Dan, anggapan ini bukanlah suatu hal yang baru.
Dalam studi perbandingan agama, hal ini telah menjadi subyek perdebatan hingga saat ini. Ada yang setuju menganggap Keturah dan Hajar adalah orang yang sama, dan ada yang tidak setuju, menganggap mereka dua orang yang berbeda.
Yang berpendapat bahwa Keturah adalah Hajar, memberi argumen jika nama Keturah (nama baru untuk Hajar) yang dalam bahasa Ibrani mengacu pada makna aroma dupa yang menyenangkan, adalah simbol bahwa ia telah berubah dari kesalahan yang dilakukan selama ia jauh dari Abraham (Ibrahim). [Neusner, Jacob: Genesis Rabbah: The Judaic Commentary to the Book of Genesis: A New American Translation, 1985: 334-335]
Penafsiran alternatif nama Keturah berdasarkan akar kata Aramic adalah: “mengikat” dan atau “menghiasi.
Ungkapan “mengikat” bermakna kesetiaan Hagar pada hubungan pernikahannya dengan Ibrahim dengan tidak pernah berhubungan dengan siapa pun sejak dia meninggalkan Abraham sampai kepulangannya.
Ungkapan “menghiasi” adalah bahwa personality Hagar sebagai seorang wanita, dihiasi dengan kesalehan dan perbuatan baik. Untuk hal ini, Hagar diangkat sebagai contoh tingkat kesalehan yang tinggi pada zaman Abraham. [sumber di sini]
Demikianlah, karakter yang ditunjukkan Hagar / Hajar atau Keturah sebagai wanita yang kuat, teguh dalam menjaga pendirian dan kehormatan sangat memiliki korelasi dengan sosok Arikhidima. Mungkin penghormatan yang tinggi dari orang Dimasa terhadap sosok Arikhidima sebagai leluhur mereka yang kemudian menginspirasi dan mendasari pertimbangan orang Dimasa untuk menjaga garis keturunan mereka menurut garis ibu (matriarki).
Di sisi lain, sekali lagi, nama lain Dimasa yaitu Kachari, jelas sangat dekat dengan bentuk Hajar atau Hagar jika ditinjau menurut morfologi fonetis. Dimana fonetis ‘k’ kita ketahui dalam banyak kasus kadang kita temukan berubah menjadi ‘h’, sementara itu bentuk ‘ch’ berpotensi berubah menjadi ‘j’ atau ‘g’.
Demikianlah, jika dugaan ini benar, maka bisa dikatakan, di tempat yang terpencil jauh dari hiruk pikuk perdebatan para ahli studi perbandingan agama, jawaban atas polemik kesamaan Hajar dan Keturah telah berdiam diri selama ribuan tahun.
BENARKAH SURAH ADALAH ASH-SHAM (TUJUAN HIJRAH DI AKHIR ZAMAN)?
Terkait peristiwa hijrah nabi Ibrahim, Imam Ahmad dan Abu Dawud meriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Amr, beliau berkata, aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Akan ada migrasi setelah migrasi, manusia pergi menuju tempat hijrah Nabi Ibrahim Alaihissallam…
Oleh banyak kalangan cendikiawan, tempat hijrah nabi Ibrahim yang dimaksud Nabi Muhammad, ditafsirkan sebagai Suriah.
Namun, adanya fakta-fakta yang terungkap dalam tulisan ini serta tulisan-tulisan saya sebelumnya, yang mengindikasikan wilayah Benggala sebagai tujuan hijrah atau migrasi Nabi Ibrahim pada masa lalu, tentu menimbulkan pertanyaan: benarkah negeri Sham yang dimaksud nabi Muhammad adalah Suriah?
Untuk menjawab hal ini, penting untuk meninjau terlebih dahulu sejarah digunakannya sebutan ‘negeri Sham’ pada wilayah Suriah atau Levant dan sekitarnya.
Sumber tertua tentang penulisan nama Suriah, yaitu pada prasasti Cinekoy yang berasal dari abad ke-8 SM. Prasasti ini ditemukan pada tahun 1997 di Cinekoy, Provinsi Adana, Turki. Prasasti menggunakan dua bahasa: Hieroglif Luwian dan Fenisia. Dalam prasasti ini kata Luwian Sura / i diterjemahkan ke Fenisia r “Assyria .” [sumber di sini]
Dalam pandangan Herodotus pada abad ke-5 SM, Suriah adalah wilayah yang meluas ke utara sejauh sungai Halys dan sejauh selatan ke Arab dan Mesir.
Sedangkan menurut Pliny the Elder dan Pomponius Mela, Syria menutupi seluruh Crescent Fertile (bulan sabit subur) yang meliputi Irak modern, Suriah, Lebanon, Israel, Palestina, Yordania, timur laut dan daerah lembah Nil Mesir, bersama-sama dengan wilayah tenggara Turki dan pinggiran barat dari Iran . [Social Studies School Service: Ancient Mesopotamia/India. 2003 : p. 4]
Nama ‘Suriah’ dianggap berasal dari sebutan Yunani kuno untuk orang Siria, yang diterapkan orang-orang Yunani tanpa membedakan berbagai bangsa Timur Dekat yang hidup di bawah pemerintahan Asyur . Hasil penelitian modern mengkonfirmasi kata Yunani tersebut dengan melacaknya kembali ke bentuk bahasa Yunani serumpun: Assyria, yang akhirnya berasal dari Akkadian ‘Asyur’.
Theodor Nldeke pada tahun 1881 adalah yang pertama memberikan dukungan filologis dengan asumsi bahwa Suriah dan Asyur memiliki etimologi yang sama. [sumber di sini]
Pengucapan bahasa Arab klasik untuk Suriah adalah Suriya. Nama itu tidak banyak digunakan di kalangan umat Islam sebelum sekitar 1870, di sisi lain tetapi telah digunakan oleh orang Kristen sebelum itu. Menurut Gereja Ortodoks Suriah , “Suriah” berarti “Kristen” dalam agama Kristen awal . Dalam bahasa Inggris, “Suriah” secara historis berarti orang Kristen Suriah seperti Ephrem. [sumber di sini]
SEBUTAN ‘SHAM’
Dalam Encyclopedia Of Islam Vol 9 (1997) (diedit Oleh: C. E. Bosworth, E. van Donzel, W. P. Heindichs, dan G. Lecomte), dijelaskan bahwa ‘Al Sham’, secara etimologis, berarti “wilayah di tangan kanan”, karena dalam penggunaan bahasa Arab kuno, penutur di Arab barat atau tengah dianggap ketika menghadap ke arah matahari terbit mereka mendapatkan Suriah di sebelah kirinya (tangan kiri), dan semenanjung Arab yakni Yaman berada di sebelah kanannya (tangan kanan).
Dalam penggunaan di awal Islam, istilah bilad al-Sham mencakup apa yang pada awal penggunaannya dalam aspek diplomatik dan politik di abad ke-20 dikenal sebagai “Suriah Besar”, termasuk entitas politik modern Suriah, Lebanon, Yordania, dan Israel dan Tepi Barat Palestina, di utara menyebar ke Turki modern atau Provinsi Hatay, Gaziantep, dan Diyarbakir.
Dalam penulisannya, ‘negeri Sham’ umumnya ditulis dalam dua bentuk yaitu: Bilad Al-Sham, dan Bilad Ash-Sham.
Kelihatannya, mereka yang memahami dasar etimologi sebutan ‘Sham’ berasal dari makna ‘utara’ akan menggunakan bentuk ‘Al-Sham’. Sementara itu, “mungkin” mereka yang mendasarkan pemahamannya pada sebutan ‘Sham’ dalam hadist nabi atau dalam Al Quran dengan bentuk ‘Asy-Syams’ akan memilih bentuk ‘Ash-Sham’.
Apa pun itu, jika mencermati fakta bahwa sebelum abad ke 7 (sebelumnya berkembangnya Islam) wilayah levant umumnya disebut ‘Suriah’ baik dalam bahasa Arab kuno maupun orang Eropa maka, ada kemungkinan jika sebutan bilad Al-Sham atau bilad Ash-Sham barulah dipopulerkan penggunannya setelah berkembangnya Islam. Ini terutama terjadi setelah penaklukan Islam atas Suriah Byzantium pada abad ke-7 .
Pada saat itu, nama wilayah levant yang dalam bahasa Arab disebut ‘Syria’ , kemudian menjadi Provinsi Islam dengan sebutan ‘Bilad al-Sham’. Di masa ini nama ‘Suriah’ tidak digunakan secara resmi dalam pemerintahan Islam, tetapi tetap digunakan di Eropa, terutama dalam literatur kristen Syria. Barulah Pada abad ke-19 nama Suriah dihidupkan kembali dalam bentuk Arab modern untuk menunjukkan seluruh Bilad al-Sham. [sumber di sini]
Mencermati riwayat penggunaan sebutan ‘Sham’ untuk wilayah levant, secara kritis saya berpandangan bahwa ada kemungkinan jika sebutan ‘bilad Al-Sham’ atau bilad Ash-Sham’ untuk melabeli wilayah levant, lebih berdasar pada kepentingan politik sekaligus ideologis.
Hal ini nampaknya terutama didasari oleh keyakinan yang berkembang dalam tradisi Islam bahwa negeri Sham sebagai tempat dikumpulkannya manusia pada akhir zaman. Beberapa hadist Nabi menjadi rujukannya.
Misalnya, Diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma ketika menjelaskan keluarnya api, di dalamnya diungkapkan: … kami bertanya, “Wahai Rasulullah! Apa yang engkau perintahkan kepada kami?” Beliau menjawab, “Hendaklah kalian berkumpul di Syam.” [HR. Al-Imam Ahmad dan at-Tirmidzi]
Al-Imam Ahmad rahimahullah meriwayatkan dari Hakim bin Mu’awiyah al-Bahzi…. sebuah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Di tempat inilah kalian akan dikumpulkan, di tempat inilah kalian akan dikumpulkan, di tempat inilah kalian akan dikumpulkan (sebanyak tiga kali); dengan berkendaraan, berjalan dan dengan diseret di atas wajah-wajah kalian.”
Imam Ahmad dan Abu Dawud meriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Amr, beliau berkata, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Akan ada hijrah setelah hijrah, manusia pergi menuju tempat hijrah Nabi Ibrahim Alaihissallam….”
Meskipun telah meluas dan terwariskan secara turun temurun pemahaman bahwa yang dimaksud sebutan ‘Al-Sham’ atau ‘Ash-Sham’ adalah wilayah suriah, namun opsi wilayah Benggala sebagai tujuan hijrah atau migrasi nabi Ibrahim di masa lalu kiranya patut pula dipertimbangkan.
Dengan pertimbangan bahwa di sana terdapat pula nama wilayah bernama ‘Assam’ (identik dengan bentuk Ash-Sham).
Dan terutama, “jika seandainya” umat Islam memberi sebutan Ash-sham pada Suriah, didasari penyebutan nama tersebut sebagai nama surat dalam Al Quran, yaitu surat “Asy-Syams”, maka perhatikanlah bahwa surat itu berada pada urutan 91, dan pertimbangkanlah bahwa “mungkin” angka tersebut sesungguhnya menyiratkan posisi ‘Assam’ (di wilayah benggala) yang berada di garis bujur 91 derajat.
Demikianlah, hal yang perlu mendapatkan perenungan di sini, adalah bahwa, terekamnya peristiwa dan alasan migrasi leluhur orang Dimasa dari semenjak ribuan tahun yang lalu, menyiratkan jika hal itu bukanlah suatu hal yang biasa, baik dalam perspektif tinjauan “pelaku” maupun”peristiwa itu sendiri” .
HUBUNGAN NUSANTARA DENGAN SUKU NAGA DI ASSAM
Suatu pendapat menarik datang dari J. R. Logan (ia sosok pencetus nama Indonesia – baca infonya di sini: wikipedia – Sejarah nama Indonesia), dalam karangannya “Customs Common th the Bill Tribes Bordering on Assam and Those of the Indian Archipelago,” yang termuat dalam Journal of the the Indian Archipelago and Eastern Asia, mengemukakan saran bahwa bangsa Indonesia itu berasal dari Assam di Asia Tenggara.
Pendapat tersebut didasarkan atas kesamaan kebiasaan antara beberapa suku di Sumatra dan Kalimantan dan suku Naga di Assam. Adat memotong kepala dan mencatat kulit pada orang Naga sama dengan adat orang Dayak di Kalimantan.
Demikian pula mengenai perumahan bujang dan perhiasan. Tetapi ia masih ragu-ragu mengenai pendapatnya ini. Ia masih membuka kemungkinan lain. Mungkin teori-teori yang lain juga benar, katanya.
Pernyataan J. R. Logan mungkin ada benarnya. Suku Mosuo yang tinggal di dekat perbatasan provinsi Yunnan dan Sichuan juga menerapkan sistem Matriarki. Kita ketahui, sejauh ini, banyaknya kesamaan jejak bahasa dan budaya yang ditemukan antara Yunnan dan Nusantara, menyebabkan para antropolog menganggap Yunnan sebagai “puzzle penting” untuk mengungkap kesejarahan asal usul nenek moyang orang-orang di Nusantara.
Selain itu, terdapat pula beberapa suku di Indonesia yang masih menerapkan sistem matriarki, misalnya: suku Minangkabau di Sumatera Barat dan beberapa wilayah sekitarnya; Suku Enggano, penghuni asli pulau Enggano yang terletak di sebelah barat pulau Sumatera, dan menjadi salah satu wilayah terluar Indonesia; Suku Petalangan yang hidup di wilayah kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau; Suku Aneuk Jamee, perantau minangkabau yang bermigrasi ke Aceh dan telah berakulturasi dengan Suku Aceh. Secara etimologi, nama “Aneuk Jamee” berasal dari Bahasa Aceh yang secara harfiah berarti anak tamu; Suku Sakai, suku terasing di Indonesia yang hidup di pedalaman Riau.
Sekian apa yang wajib saya sampaikan. Semoga bermanfaat. Salam.