Ada tiga kali Prabu Siliwangi menyebutkan frase “Pemuda Berjenggot” dalam wangsitnya, yaitu pada kalimat:
Pada saat itu datang pemuda berjenggot, datangnya memakai baju serba hitam sambil menyanding sarung tua. Membangunkan semua yang salah arah, mengingatkan pada yang lupa, tapi tidak dianggap. Karena pintar kebelinger, maunya menang sendiri. Mereka tidak sadar, langit sudah memerah, asap mengepul dari perapian. Alih-alih dianggap, pemuda berjenggot ditangkap dimasukan kepenjara.
dan dalam kalimat: ….Semua mencari tumbal, tapi pemuda gembala sudah tidak ada, sudah pergi bersama pemuda berjenggot, pergi membuka lahan baru di Lebak Cawene!
Perlu untuk pembaca pahami bahwa kalimat dalam wangsit Prabu Siliwangi ini adalah gaya bahasa metafora yang berarti hal-hal yang ingin disamarkan disajikan dalam bentuk analogi.
Ada juga bagian di mana Prabu Siliwangi menggunakan konsep lawan kata (antonim) untuk menyamarkan hal yang ia maksud.
Demikianlah, dalam upaya mengurai makna yang dikandung wangsit Prabu Siliwangi, memang dibutuhkan kejelian, kreativitas, keluasan wawasan, dan tentu saja ketajaman intuisi.
Jika anda penggemar film seperti Indiana Jones, The Librarian, National Treasure, The Mummy, Tomb Rider, The Da Vinci Code, anda tentu seringkali menyaksikan tokoh dalam film-film tersebut harus berpikir keras memecahkan teka-teki berbentuk kalimat metafora atau “bahasa simbolik” untuk mendapatkan suatu petunjuk.
Dalam dua kalimat wangsit di atas, yang sarat kalimat simbolik dan membutuhkan suatu penyelaman mendalam untuk dapat memahami makna yang dikandung, saya melihat Prabu Siliwangi sungguh-sungguh menunjukkan kualitas dirinya sebagai orang yang berwawasan sangat luas.
Berikut ini uraiannya…
Makna Frase “Pemuda Berjenggot”
Dalam frase “Pemuda Berjenggot” bagian yang perlu mendapat telaah adalah pada kata “berjenggot”. Dan percayalah, anda tidak akan pernah dapat memahami apa maksud dari kata “berjenggot” yang digunakan Prabu Siliwangi, jika anda tidak memahami konsep Natyashastra dalam tradisi Hindu.
Secara literari, Natya Sastra (नाट्य शास्त्र, Nāṭyaśāstra ) dalam bahasa Sanskerta berarti: seni pertunjukkan. Jadi, Natyashastra adalah risalah dalam tradisi Hindu yang menyajikan ensiklopedia kuno tentang seni; baik itu seni tari, seni musik, dan atau tradisi seni sastra dalam tradisi India kuno.
Dalam bahasa Sanskerta, jenggot disebut ‘Smasru’ (श्मश्रु) yang secara literari berarti “rambut wajah”. Kata ‘Smasru’ disebutkan definisinya oleh Vagbhata (sarjana Sanskerta yang hidup di abad ke-12 M) dalam ayat 2.30 Astangahrdayasamhita sebagai: Seseorang yang mengambil jalan tengah dalam segala masalah, baik masalah agama maupun duniawi.
Jadi ketika Prabu Siliwangi menggunakan frase “Pemuda Berjenggot” dalam wangsitnya, ia tengah mengacu pada sosok seseorang yang memiliki prinsip: “senantiasa mengambil jalan tengah dalam menyelesaikan segala masalah, baik itu masalah agama maupun masalah duniawi”.
Dan kuat dugaan saya jika “seseorang” yang dimaksud Prabu Siliwangi sebagai “Pemuda Berjenggot” adalah HRS. Penjelasan lebih lanjut di bawah ini akan menguatkan dugaan tersebut.
Makna Kalimat “Memakai Baju Serba Hitam”
Dengan pertimbangan bahwa ungkapan “Pemuda Berjenggot” yang dimaksud Prabu Siliwangi mengacu pada sosok HRS maka, Ungkapan “memakai baju serba hitam” dapat dilihat sebagai sebuah bentuk permainan lawan kata (antonim), yaitu pada kata ‘hitam’ yang, lawan katanya adalah : putih.
Jadi bunyi kalimat sebenarnya adalah: “memakai baju serba putih”. Kita ketahui, hampir setiap kemunculannya, HRS senantiasa menggunakan pakaian berwarna putih.
Konsep lawan kata juga Prabu Siliwangi terapkan pada frase “Lebak Cawene”, yaitu pada kata Cawene yang, lawan katanya adalah: Abang. (Dalam bahasa Sunda, Cawene artinya “gadis”)
Jadi, bentuk lawan kata dari Lebak Cawene adalah: Lebak Abang atau Tanah Abang. Ini sesuai dengan letak rumah HRS di Petamburan yang masuk wilayah Tanah Abang.
Makna Kalimat “Menyanding Sarung Tua”
Dari semua kalimat metafora yang digunakan Prabu Siliwangi di seputar sosok “Pemuda Berjenggot” , ungkapan “menyanding Sarung Tua” bisa saya katakan adalah kalimat simbolik yang paling kuat mengarahkan maknanya kepada sosok HRS.
Frase “Sarung tua” dapat dilihat sebagai bentuk ungkapan simbolik untuk “sejarah sarung”. Menurut catatan sejarah, sarung berasal dari Yaman. (baca infonya di sini)
Karena itu, kata ‘menyanding’ dalam kalimat “datangnya memakai baju serba hitam sambil menyanding sarung tua” dapat dimaknai sebagai: Sejarah Sarung yang ‘menyanding’ atau ‘beriringan jalan’ dengan sejarah rumpun keluarga HRS sebagai keturunan Nabi Muhammad yang berasal dari Yaman.
***
Demikianlah, ungkapan “Pemuda Berjenggot” yang ditujukan Prabu Siliwangi untuk HRS, mengindikasikan bahwa Prabu Siliwangi dapat melihat pribadi HRS sebagai sosok yang senantiasa mengambil jalan tengah dalam menyelesaikan segala masalah, baik itu masalah agama maupun masalah duniawi.
Melalui wangsitnya, Prabu Siliwangi telah memberi suatu informasi penting tentang bagaimana sesungguhnya pribadi HRS, oleh karena itu, adalah suatu langkah yang bijak sekiranya pemerintah dapat pula mengambil suatu opsi “jalan tengah” dalam menyelesaikan polemik kasus HRS, yang harus diakui, telah banyak menghabiskan waktu dan energi sangat besar negeri ini.
Jika sekiranya kedua belah pihak sama-sama memilih mengambil jalan tengah, tentu saja akan segera ada titik temu.
SEKIAN.
Baca lebih banyak tema pembahasan Wangsit Siliwangi di sini: