Dalam tulisan saya yang berjudul “Rahasia Angka 168 dan Akhir Zaman” saya mengulas perhitungan perbandingan 1 detik di akhirat sama dengan 420 hari di dunia.
Hal ini didasari perbandingan waktu di akhirat dan waktu di dunia yang diisyaratkan dalam Al Quran surat Al Ma’aarij ayat 4, yang berbunyi: Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Tuhan dalam sehari yang kadarnya lima puluh ribu tahun.
Kata “sehari” dalam kalimat surat Al Ma’aarij ayat 4 dapat diasumsikan sama dengan 12 jam karena untuk 24 jam, dalam hemat saya, tentulah mesti disebutkan sebagai sehari semalam.
Karena itu, jika 50 ribu tahun di dunia sama dengan 12 jam di akhirat, maka, 1 jam di akhirat = 4.166 tahun di dunia (50,000 tahun : 12 jam = 4.166) – atau, 1 menit di akhirat = 69.4 tahun di dunia (4.166 tahun : 60 menit = 69.4) – atau, 1 detik di akhirat = 1,15 tahun di dunia (69.4 tahun : 60 detik = 1.15) – atau, sama dengan 420 hari (365 hari x 1,15 = 419,75 – yang dapat dibulatkan menjadi 420)
1 tahun = 420 hari, dalam perhitungan kalender wuku yang digunakan di Bali
Yang menarik, kalender Wuku yang digunakan masyarakat Bali, menghitung 1 tahun berumur 420 hari. Perhitungan ini tentu saja berbeda dengan kalender yang umum digunakan di dunia, seperti: kalender Gregorian (Masehi) yang menghitung 1 tahun = 365 hari; kalender Hijriah, 354/355 hari dalam setahun; kalender Imlek, 1 tahun = 354 hari; dan kalender Saka yang menghitung ada 12 bulan dalam setahun, tiap bulan terdiri dari 30 hari, yang berarti total ada 360 hari dalam setahun.
Menurut kabarnya, kalender Wuku dikatakan hanya ada di Indonesia, dan saat ini tersisa hanya digunakan masyarakat Bali. (sumber di sini)
Dengan demikian, dari semua kalender yang digunakan dalam peradaban umat manusia hanya kalender wuku saja yang perhitungannya menunjukkan perbandingan skala waktu akhirat dan waktu dunia, yaitu bahwa: 1 tahun (yang berjumlah 420 hari) pada kalender wuku merepresentasi 1 detik waktu akhirat.
Demikianlah, perhitungan 1 tahun sama dengan 420 hari sebenarnya adalah wujud realitas dunia, hal esensi yang telah diketahui orang-orang di masa kuno, namun kemudian terlupakan dalam perjalanan waktu. Beruntung, masyarakt Bali yang ketat menjaga tradisi kuno masih menyimpan informasi tersebut.
Ketika Allah kembali mengisyaratkan informasi tersebut dalam QS. Al Ma’aarij ayat 4, Dia membahasakannya dalam bentuk kalimat perbandingan yang menuntut upaya kita untuk mencermati dan menelaah secara komprehensif agar dapat memahami makna yang dikandungnya.
Dan ketika kemudian hasil pencermatan makna di balik surat Al Ma’aarij ayat 4 sangat jelas mengisyaratkan adanya keselarasan dengan tradisi kuno yang tersimpan dalam budaya masyarakat Bali, yang pada hari ini kita sebut sebagai budaya Hindu Bali, maka, sudah semestinya jika kenyataan tersebut dilihat sebagai:
“Cara Allah mengaitkan kebijaksanaan yang Dia hadirkan di muka bumi (melalui para utusan-utusanNya) – dari masa paling primordial hingga ribuan tahun selanjutnya – tentunya, termasuk kebijaksanaan yang disampaikan Nabi Muhammad dan juga utusan-utusan yang akan terus hadir hingga akhir zaman.”
Dengan kata lain, ini menjadi isyarat bahwa untuk mengetahui hal-hal esensi_, kita tidak bisa hanya mencermati ilmu yang tersaji di dalam tradisi agama yang kita anut saja. Prinsip ini memang agak riskan jika dicerna oleh orang-orang yang tidak dapat melihat “gambaran besar.”
Tapi percayalah, pada saatnya, akan hadir utusan langit yang dapat menjabarkan hal ini secara lugas dan tidak menyisakan cela sedikit pun untuk dimanfaatkan pihak-pihak yang ingin menyesatkan umat manusia di labirin paham liberalis.
SEKIAN.