-->

Kajian Surat Ar-Rad Ayat 19


Dalam surat Ar-Ra’d ayat 19 terkandung pernyataan menarik dari Allah yang sesungguhnya jika direnungkan dapat menjadi petunjuk, bahwasanya dalam mencari kebenaran kita sebaiknya lebih mengedepankan fokus kita pada aspek “hikmah sebagai substansi”, dari pada penilaian sumber dari mana pernyataan kebenaran itu berasal.

Berikut ini bunyi surat Ar-Ra’d ayat 19: Maka apakah orang yang mengetahui bahwa apa yang diturunkan Tuhan kepadamu adalah kebenaran, sama dengan orang yang buta? Hanya orang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran,

Bunyi ayat ini mempertanyakan orang yang mengetahui kebenaran itu “apakah seperti orang yang buta,” maksudnya adalah bahwa orang yang mengetahui kebenaran itu diharapkan tidak perlu lagi melihat (mencari tahu) dari mana kebenaran itu berasal, apakah diucapkan seorang guru besar atau orang biasa, orang terpandang dan bagus kedudukannya, ataukah sebaliknya. 

Intinya, ia tidak perlu lagi melihat physically (karena itu dianalogikan seperti orang buta), tapi lebih kepada “hikmah sebagai substansi”. Makanya, kalimat lanjutannya lebih memberi penekanan bahwa “hanya orang berakal yang dapat mengambil pelajaran.” 

Apa yang saya coba utarakan di sini tentu saja akan mendapat sanggahan dari kalangan yang berpendapat bahwa sumber ilmu tidak boleh diambil dari sembarang orang. Bahkan untuk lebih mengatur hal ini, diajarkan adab dan syarat yang dijadikan pedoman.

Hal ini misalnya dapat kita temukan dibahas dalam situs almanhaj.or.id

Imam besar Ahlus sunnah dari generasi Tabi’in, Muhammad bin Sirin berkata, “Sesungguhnya ilmu agama (yang kamu pelajari) adalah agamamu (yang akan membimbingmu meraih ketakwaan kapada Allh), maka telitilah dari siapa kamu mengambil (ilmu) agamamu.”[Dinukil oleh Imam Muslim dalam Muqaddimah Shahh Muslim, 1/43-44 — Syarhu Shahh Muslim] 

Artinya, janganlah kamu mengambil ilmu agama dari sembarang orang, kecuali orang yang telah kamu yakini keahlian dan kepantasannya untuk menjadi tempat mengambil ilmu. [Lihat penjelasan Imam al-Munawi dalam Faidhul Qadr , 2/545 dan 6/383]

Kalangan cendikiawan dan alim ulama mungkin telah sangat yakin bahwa inilah satu-satunya cara membentengi umat agar tidak keliru dalam mengambil ilmu agama. 

Tetapi, di sisi lain, saya melihat jika hal ini “mungkin tanpa disadari” telah bertentangan, bahkan bisa dikatakan menghalangi kehendak Allah yang ingin agar semua makhluk ciptaannya berfungsi sebagai penyampai hikmah. Ini setidaknya berkorelasi dengan perspektif holistik yang dibutuhkan dalam mencermati ayat-ayat kauniyah, yaitu ayat-ayat (petunjuk-petunjuk) Allah yang tersebar di alam semesta melalui ciptaan-Nya. 

Saya pikir kita memang haruslah berpikir bijak, bahwa kebenaran adalah hal yang memang tidak akan mudah untuk didapatkan, oleh karena jalan menuju ke sana dipenuhi dengan”kerikil-kerikil tajam” yakni cobaan-cobaan sebagai penguji kepantasan kita yang ingin memilikinya.

Misalnya, suatu doa permohonan petunjuk yang telah lama kita panjatkan kehadirat Allah bisa jadi telah diberi jawaban oleh-Nya, tetapi, Ia menyampaikan jawaban itu melalui seseorang yang tidak pernah terpikir akan menjadi orang yang akan berjasa memberi kita jawaban yang telah lama kita cari. Jika seandainya kita terjebak dan larut dalam alur berpikir subjektif seperti ini maka celakalah kita… 🙂

Jadi demikianlah, ketika tanpa sadar fokus kita telah bergeser dari “hikmah sebagai substansi” ke penilaian subjektif pada aspek lahiriah seperti “kepantasan” dan lain sebagainya, maka kita pada dasarnya tanpa sadar telah menggagalkan diri sendiri.

Saya menjadikan Surat Ar-Ra’d ayat 19 sebagai suatu tema pembahasan khusus, oleh karena secara intuitif saya melihat jika ke depan_, situasi seperti inilah yang akan banyak dihadapi umat manusia.

Sekian  apa yang wajib saya sampaikan. Semoga bermanfaat. Salam.

LihatTutupKomentar