“Piring” adalah salah satu kata benda yang paling akrab dengan ingatan manusia. Hal itu dikarenakan fungsinya sebagai perkakas kegiatan rutin dan paling vital bagi kelangsungan hidup manusia, yaitu: makan.
Begitu akrabnya “piring” dengan alam pikiran manusia, sehingga dalam situasi tertentu, ia bahkan dapat memicu dampak emosional. Seseorang dapat marah, sedih, kecewa, senang, bahagia, bahkan termotivasi, ketika teringat dengan kata piring.
Benarkah? Mengapa demikian?
Ya, anda mungkin akan menganggap pernyataan ini terlalu berlebihan dan mengada-ada… tapi tentu saja tidak.
Saya yakin, anda akan melihat kebenaran pernyataan itu manakala melakukan pengamatan lebih mendalam.
Misalnya, Dalam alam pikiran seorang bapak, ingatan tentang “piring” dapat memotivasinya bekerja lebih giat, karena hal itu mengingatkannya pada tanggung jawab memberi makan anak istrinya di rumah. Segala macam perasaan akan berkecamuk mengiringinya dalam upaya tersebut – baik ketika gagal, maupun ketika berhasil.
Dari hal ini dapat kita lihat bahwa “piring” adalah perkakas untuk sebuah kegiatan yang paling mempengaruhi arah dan sudut pandang berpikir manusia terhadap kehidupan.
Di Nusantara, bukti bahwa kata “piring” mempengaruhi alam pikiran kita, dapat ditemukan dalam beberapa bunyi peribahasa yang menggunakan kata piring atau pinggan.
Misalnya: “pinggan tak retak nasi tak dingin” (artinya: cermat dalam melakukan suatu pekerjaan) ; atau “di mana pinggan pecah, di sana tembikar tinggal” (di mana orang meninggal di situ dikuburkan).
Dalam cerita fiksi (budaya populer) terutama di tahun 80-90an, kita pernah akrab dengan sebutan “piring terbang” sebagai wahana makhluk luar angkasa yang datang menginvasi bumi.
Namun, dalam kehidupan urban hari ini, kita juga mengenal istilah “piring terbang” tapi yang ini tidak merujuk pada wahana makhluk luar angkasa. Istilah ini biasanya menjadi kalimat keluhan atau ejekan tentang situasi pertengkaran suami istri dalam rumah tangga.
Misalnya seorang temanmu berkata: “wahh barusan di rumah ada piring terbang!” – kalau kamu tidak mau ceritanya kepanjangan, abaikan saja temanmu itu, soalnya ada kemungkinan dia mau curhat, habis marahan dengan istrinya.
Atau kalau mau mengejek temanmu yang lagi murung, kamu bisa bertanya: “kayaknya habis lihat piring terbang lagi nih!”
Tapi sejujurnya saya pun bertanya-tanya, kenapa para wanita ini ketika marah pada suamiya senang memilih melemparkan piring? apakah itu wujud pernyataan simbolisasi, mengingatkan tugas dan tanggungjawab seorang suami untuk memberi makan anak istri? ataukah bertujuan menjadikan suara piring pecah sebagai back sound agar marahnya mendapat efek dramatis?
Saya pribadi berpikir, kemungkinan kedua adalah lebih masuk akal. Kenyataannya, jika ingin melemparkan piring sebagai wujud pernyataan simbolisasi tentang tugas dan tanggungjawab seorang suami untuk memberi makan anak istri, kan bisa saja memilih melemparkan piring plastik. Tapi kenyataannya kan umumnya para wanita ini memilih piring berbahan kaca atau kaleng yang menghasilkan suara gaduh.
Asal usul kata piring
Senasib dengan banyak kata lainnya dalam bahasa Indonesia, kata “piring” pun hingga hari ini tidak jelas asal usulnya.
Untuk kata “pinggan”, “pinjan” ataupun “pinjang”, yaitu kata bermakna “piring” dalam beberapa bahasa daerah di Indonesia, saya melihat ada kemungkinan terkait dengan karakter dalam aksara Hanzi: “ping” yang berarti “datar”, dan “yuan” yang berarti “bulat atau lingkaran” – Jadi kata “pinggan” mungkin berasal dari kata “ping-yuan” yang berarti “Lingkaran datar” atau “bulat pipih”.
Dalam bahasa China sendiri pada hari ini, piring disebut “pan” atau “panzi”, kata panci dalam bahasa Indonesia kemungkinan berasal dari kata panzi ini.
Adapun mengenai kata “piring”, saya tidak menemukan kemungkinannya terdeteksi dalam aksara Hanzi seperti halnya kata pinggan – begitu juga kemiripan bentuknya dalam bahasa asing – baik di wilayah Asia Tenggara, Asia, pun hingga Eropa.
Sebagai perbandingan, berikut ini beberapa sebutan piring dalam berbagai bahasa di dunia…
Sebutan piring dalam bahasa negara di Eropa: Albanian ‘pjate’; Basque ‘plaka’; Catalan ‘placa’; Danish ‘plade’; English ‘plate’ / ‘disk’ / ‘dish’; Estonian ‘plaat’; Finnish ‘levy’; French ‘assiette’; Galician ‘chapa’ / ‘o prato’; German ‘Teller’ / ‘Platte’; Greek ‘plaka’; Icelandic ‘Diskur’ / ‘diskinn’; Irish ‘plata’; Italian ‘piatto’; Latvian ‘plate’; Lithuanian’plokste’ / ‘lekste’; Norwegian ‘tallerken’ / ‘platen’; Polish’pyta’; Portuguese ‘Prato’; Romanian ‘farfurie’; Russian ‘plastina’ / ‘tarelka’; Serbian ‘tanjir’; Slovak ‘tanier’; Spanish ‘plato’.
Sebutan piring dalam bahasa negara di Asia: Armenian ‘ap’sey’; Azerbaijani ‘bosqab’; Bengali ‘Plea’; Chinese ‘panzi’; Georgian ‘pirpit’a’ / ‘disk’o’; Gujarati ‘pleta’; Hindi ‘plet’ / ‘thaalee’; Hmong ‘phaj’; Japanese ‘Pureto’; Kannada ‘Ple’; Kazakh ‘tabaqsa’; Khmer ‘chan’; Korean ‘jeobsi’ / ‘peulleiteu’; Lao ‘aephn’; Marathi ‘Plea’; Mongolian ‘khavtan’; Myanmar (Burmese) ‘paannkaan’; Nepali ‘Plea’; Sinhala ‘tahauva’; Tamil ‘tau’; Telugu ‘ple’; Turkish ‘plaka’; Uzbek ‘Plitalar’ / ‘plitasi’.
Sebutan piring dalam bahasa negara di Timur tengah, Afrika dan Asia tenggara: Arabic ‘lawha’ / ‘tabaq’; Afrikaans ‘plaat’; Chichewa ‘mbale’; Hausa ‘farantin’; Igbo ‘efere’; Sesotho ‘poleiti’; Somali ‘saxanka’; Swahili ‘sahani’; Yoruba ‘awo’; Zulu ‘ipuleti’; Cebuano ‘plato’; Filipino ‘plato’; Indonesian ‘piring’; Malagasy ‘lovia’ / ‘vilia’; Malay plat’; Maori’pereti’.
Dari ke semua ucapan kata piring dari berbagai negara di dunia yang disebutkan di atas, tidak satu pun diantaranya yang memiliki kemiripan fonetis dengan kata piring.
Di sisi lain, di antara ke semua kata tersebut, yang paling banyak memiliki kemiripan adalah bentuk ‘plate’ dengan bentuk variasi bentuk seperti : pjate, plaka, placa, plade, plaat, Platte, plaka, plata… dan masih banyak lagi.
Sebutan “piring” yang juga dapat bermakna “perahu”
Salah satu hal menarik yang dapat kita temukan dalam penyelidikan bentuk kata piring dalam bahasa berbagai bangsa di dunia, adalah sebutan piring yang sebenarnya juga dapat berarti “perahu”.
Hal ini dapat kita temukan pada sebutan kata piring dalam bahasa Malagasy, yakni: ‘lovia’ – dan kata ‘levy’ dalam bahasa Finnish atau bahasa Finlandia, yaitu bahasa yang digunakan oleh orang Nordik di Eropa utara. Beberapa negara yang menggunakannya, antara lain: Finlandia , Swedia , Norwegia (di daerah kecil di Troms dan Finnmark ), dan sebagian warga Rusia bagian utara.
Jika di dalam bahasa Malagasy, Finnish dan beberapa bahasa negara yang saya sebutkan di atas kata ‘lovia’ atau ‘levy’ bermakna “piring”, maka dalam bahasa Bugis, ‘Lopi’ adalah sebutan untuk perahu.. Ini dapat disimak dalam buku John Crawfurd ” History of the Indian Archipelago – Containing an Account of the manners, arts, languages, religions, institutions, and commerce of its inhabitants – Volume 2″, yang terbit pada tahun 1820.
Dalam masyarakat Bugis (terutama yang menetap di wilayah Luwu), sebutan yang bisa bermakna’piring’ dan bisa juga bermakna ‘perahu’ adalah kata “baku” atau “baku-baku” – Ini adalah sebutan perahu yang lebih kuno lagi (dalam bahasa tae’ atau bugis kuno).
Bentuk lain dari kata ‘baku’ yang lebih dikenal saat ini adalah kata ‘waka’. Dapat kita temukan dalam kamus bahasa Bugis – Belanda yang disusun oleh B. F. Matthes (1874) “Boegineesche – Hollandsch woordenboek …”.
Yang menarik karena sebutan “baku-baku” atau “wako-wako” menjadi nama kelompok Perompak Jepang yang menjarah wilayah pantai Cina dan Korea antara abad ke 13 dan 16, dalam beberapa kasus menyerang hingga ratusan mil ke daratan. Wako sebagian besar dapat ditekan pada tahun 1587.
“Wako-wako” juga dibahas Stephen Richard Turnbull, seorang spesialis sejarah agama jepang, dalam bukunya “Pirate of the Far East: 811-1639”
Mengenai fakta bahwa kata ‘lopi’ (perahu) diserap ke dalam bahasa Malagasy dan bermorfologi menjadi bentuk ‘lovia’, begitu juga ke dalam bahasa Finnish ‘levy’, dan bahwa kata tersebut kemudian dimaknai ‘piring’ layaknya kebiasaan yang ditunjukkan dalam tradisi orang-orang di Sulawesi selatan pada masa kuno, merupakan kasus fenomenologi yang pada prinsipnya dapat menjadi gambaran kepada kita – sebagai bukti jejak jelajah pelaut Nusantara pada masa kuno.
Awetnya jejak pelaut kuno dari Nusantara di Malagasy bisa dikatakan disebabkan kondisi geografinya sebagai sebuah pulau yang cenderung sulit mendapat pengaruh yang signifikan dari budaya luar.
Pemahaman yang sama juga dapat kita terapkan pada orang Nordik (pengguna bahasa Finnish) yang secara geografi terpencil di ujung utara bumi.
Sebutan “piring” yang juga dapat bermakna “wilayah, negeri, atau tanah”
Beberapa kalangan di Sulawesi selatan percaya bahwa salah satu nama kuno pulau Sulawesi adalah “Sempe” yang bisa berarti “piring” tapi dapat pula bermakna “perahu”. Hal ini dapat kita lihat pada sebutan “pa sompe” yang berarti “pelaut” dalam bahasa Bugis.
Yang menarik karena sebutan ‘sempe’ yang dapat bermakna ‘piring’ dan juga dapat bermakna ‘negeri’ (dalam hal ini pulau Sulawesi), dapat pula kita temukan polanya pada bentuk kata ‘plate’ dengan variasi bentuk seperti “plade, plaat, Platte, plaka, plata”, yang menunjukkan potensi perubahan fonetis ke bentuk kata ‘balad’ yang bermakna ‘negeri’ dalam bahasa arab.
Di sini lain, kata ‘Balade’ atau ‘balada’ juga adalah sebutan jenis musik tradisional yang populer di Eropa pada sekitar abad pertengahan hingga abad ke-19., terutama di wilayah Irlandia, Skotlandia, Inggris, Prancis, hingga wilayah Skandinavia dan Jerman.
Pada masa itu, lagu balada merupakan lagu naratif yang bercerita tentang keindahan sebuah negeri, syair kepahlawanan, dan biasanya digunakan sebagai pengiring kegiatan dansa.
Istilah ‘Balad’ yang berarti ‘negeri’ inilah yang nampaknya menjadi dasar penyebutan lagu balada pada masa sekarang disebut jenis lagu country. Penyebutan baru ini jelas dimulai di Amerika.
Sebutan lagu balada yang awalnya dibawa para imigran dari Eropa ke benua Amerika pada sekitar abad ke-17 hingga abad ke-19, oleh generasi mereka selanjutnya yang lahir di abad modern, kemudian mengganti istilah tersebut dengan sebutan lagu country – yang pada dasarnya maknanya sama saja antara ‘balad’ dan ‘country’, yaitu: negeri.
Kasus yang persis sama, kita temukan juga pada sebutan ‘dish’ atau ‘disk’ yang berarti ‘piringan’ atau ‘cakram’ (dalam bahasa Icelandic ‘Diskur’ atau ‘diskinn’ berarti ‘piring’) – yang mana identik dengan bentuk kata ‘desh’ dalam bahasa Hindi yang berarti ‘negara’, ataupun ‘deza’ dalam bahasa Sanskerta yang berarti: negeri, wilayah, daerah. Sebutan ‘deza’ dalam Sanskerta ini yang kemudian diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi kata ‘desa’.
Demikianlah, dengan seluruh uraian ini kita mendapat gambaran bahwa kata “piring” sesungguhnya memiliki riwayat yang sangat panjang dalam sejarah peradaban manusia.
Lalu, dari mana sesungguhnya asal usul kata “piring”?
Tidak adanya persamaan yang dapat kita temukan dalam berbagai bahasa di dunia, menjadikan kata ‘piring’ sebagai sebuah kata yang sangat unik dan spesial.
Secara pribadi, saya melihat ada kemungkinan jika kata ‘piring’ berasal dari gabungan kata ‘Pi’ dan ‘ring’. ‘Pi’ adalah konstanta Matematika yang merupakan rasio keliling lingkaran (ring), dengan diameternya. Sementara kata ‘ring’ dalam bahasa Indo-Eropa dapat berarti ‘cincin’ ataupun ‘lingkaran’.
Demikianlah, piring yang umumya berbentuk lingkaran, menjadikan usulan ini rasanya masuk akal.
***
Sekian tulisan tentang piring ini. Mungkin, inilah tulisan tentang “piring” yang paling komprehensif yang pernah disusun dalam sejarah umat manusia… 😀