Telah sejak lama bunyi ayat 32, 33, dan 34 dari surat Al Ahzab menjadi bahan perdebatan para ahli, baik itu dikalangan ulama Islam hingga ilmuwan barat yang mengkhususkan penelitiannya pada dunia Islam.
Perdebatan tersebut terutama tertuju pada adanya perubahan (penggunaan) bentuk jamak feminin (kunna) yang digunakan pada ayat 32 dalam kalimat yang bunyinya menyapa para istri nabi – ke bentuk jamak maskulin (kum) di ayat 33 dalam kalimat di mana Allah menyapa ahlul bait – lalu, kembali menggunakan bentuk jamak feminin pada ayat 34.
Didasari atas keganjilan inilah maka pembahasan tentang ahlul bait di kalangan ulamat menjadi begitu beragam. Ini oleh karena Al Quran sebagai rujukan utama – hanya dua kali menyebut frase ahlul bait, yaitu pada surat Al Hud ayat 73 (11:73) dan surat Al Ahzab ayat 33 (33:33).
Dan di surat Al Ahzab ayat 33 lah di mana Allah secara eksplisit menyatakan keinginannya untuk memurnikan (menghilangkan dosa) ahlul bait. Jika diperhatikan, nomor surat Al Ahzab (33) dan nomor ayat 33 memang mencolok karena angka yang kembar. Keunikan ini tentu saja ada maknanya. Ini terkait erat dengan Al Mahdi. Namun agar pembahasan tidak melebar, ada baiknya hal itu saya ulas di lain kesempatan saja.
Jadi, pada ayat 32 pada kalimat “Wahai istri-istri Nabi! Kamu tidak…” (يٰنِسَاۤءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ yā nisā`an-nabiyyi lastunna…) digunakan ‘kunna‘ bentuk jamak feminin.
Di awal ayat 33 pada kata ‘rumahmu’ (بُيُوْتِكُنَّ buyụtikunna) masih menggunakan bentuk jamak feminin ‘kunna‘. Namun, di bagian akhir ayat tiba-tiba bentuk jamak yang digunakan berubah menjadi ‘kum‘ (bentuk jamak maskulin), yaitu pada frase ‘memurnikanmu’ (يُطَهِّرَكُمْ yuṭahhirakum).
Lalu kembali menggunakan bentuk ‘kunna‘ lagi di ayat 34 pada frase ‘rumahmu’ ( بُيُوْتِكُنَّ buyụtikunna).
Menarik pula untuk mencermati secara lebih mendalam tinjauan kebahasaan untuk frase ‘yuṭahhirakum‘ yang disajikan di halaman situs corpus.quran.com berikut ini…
Kata ‘yutahhira‘ dijelaskan sebagai bentuk kata kerja tidak sempurna untuk orang ketiga tunggal (maskulin). Di sisi lain, kata ‘yutahhira‘ juga dijelaskan sebagai subjunctive mood yaitu bentuk pengandaian (untuk menggambarkan) situasi.
Jika kita mencermati bahwa kata ‘yutahhira‘ adalah bentuk kata kerja “tidak sempurna” maka, secara filosofis, “ketidaksempurnaan” yang disandang kata itu dapat kita lihat sebagai “pengandaian situasi” ketidaksempurnaan Al Mahdi sebelum diislah (diperbaiki) oleh Allah.
Dari riwayat yang berkembang dalam tradisi Islam kita ketahui bahwa Al Mahdi hanya akan resmi ditampilkan Allah ke khalayak umum setelah terlebih dahulu diislah atau diperbaiki atau disinkronisasi secara sempurna jasmani dan rohaninya. Inilah tujuan dari keinginan Allah untuk memurnikannya.
Perbaikan jasmani dan rohani Al Mahdi (Sang Ahlul Bait) inilah yang diisyaratkan dalam bentuk ‘kum‘ kata ganti objek jamak maskulin. Jadi, Jasmani dan rohani beliau itu dalam kebahasaan dinilai sebagai objek jamak maskulin.
***
Demikianlah, dari keganjilan yang disajikan surat Al Ahzab ayat 32, 33 dan 34 inilah banyak bermunculan silang pendapat di antara para ulama. Yang tentu saja akan sangat panjang jika saya urai di sini.
Tujuan tulisan ini saya fokuskan sekadar untuk memberi wawasan kepada pembaca bahwa ada fenomena semacam ini dalam pembahasan tema tentang ahlul bait. Jadi bagi yang berminat menelusuri lebih jauh silakan searching di internet saja. banyak kok artikel yang telah membahas hal ini. Misalnya di alamat wikipedia ini.
Poin yang ingin saya sampaikan terkait fenomena ini adalah bahwa ketika Allah menyebut ‘Ahlul Bait’ di surat Al Ahzab ayat 33, penting untuk mencemati kalimat awal pada ayat tersebut yang berbunyi “Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu…“. Dalam pengertian kita di Indonesia, bunyi kalimat ini bisa kita maknai merujuk pada kata “pingit” yang, tentu saja sama dengan kata ‘piningit’ pada nama Satria Piningit.
Meskipun akan terasa seperti jembatan tipis yang ringkih jika hal ini serta merta digunakan sebagai petunjuk akan adanya keterkaitan antara Al Mahdi sebagai Ahlul Bait dengan Satria Piningit, namun, dalam tulisan Kaitan Angka 144 yang Sakral Dalam Tradisi Ibrani dan Angka 8291 yang Disebut Dalam Wangsit Jayabaya (Tradisi Jawa) saya telah membahas bahwa sebutan ‘Anak Domba’ yang umum kita temukan digunakan dalam tradisi Ibrani dan Kristiani merujuk pada sosok yang akan muncul di akhir zaman yang akan mewarisi “Kota Yerussalem Baru” di mana bait ketiga dibangun.
Dalam Kitab Perjanjian Baru, Wahyu 21: 10-21, ada disebut Kota Yerusalem baru ( juga disebut Yerusalem Surgawi atau pun Sion dalam kitab-kitab lain dari Alkitab Kristen).
Yesaya menubuatkan bahwa Bait Suci ketiga yang dibangun kembali akan menjadi rumah doa bagi semua bangsa. Kota Yerusalem baru, akan menjadi titik berkumpulnya bangsa-bangsa di dunia.
Yerusalem baru dideskripsikan Yohanes (menurut visi kenabiannya) sebagai kota yang dasarnya berbentuk bujur sangkar dan dikelilingi oleh tembok yang terbuat dari yaspis. Tinggi, panjang, dan lebar kota tersebut memiliki dimensi yang sama – yaitu 12,000 stadia.
Saya melihat konsep Anak Domba sebagai pewaris atau pemilik sah kota Yerusalem, sebenarnya, ada kecenderungan senada dengan konsep “Ahlul Bait” dalam tradisi Islam. Dengan kata lain, Anak Domba dapat disebut sebagai “ahl” untuk kota Yerusalem Baru.
Dan oleh karena bait suci ketiga yang dibangun menjelang akhir zaman terletak di dalam kota Yerusalem baru, maka, dapat diduga jika ‘Anak Domba’ adalah tokoh penyelamat dunia yang akan muncul di akhir zaman nanti. (pembahasan mengenai hal ini telah saya ulas panjang lebar dalam artikel: Lamed Vav Tzadikim: 36 Orang Saleh yang Mengembara di Bumi.
Demikianlah, Al Mahdi atau ‘Anak Domba’ sebagai Ahlul Bait (secara eksplisit: Bait ketiga) yang hadir di akhir zaman – diisyaratkan Allah dalam Al Quran pada surat Al Ahzab ayat 33 dalam bentuk kalimat “Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu…” yang, bisa dikatakan, kalimat tersebut adalah bentuk kalimat naratif untuk kata “piningit“.
Jadi, dapat kita lihat bahwa ada tik-tok antara apa yang diisyaratkan surat Al Ahzab ayat 33 dengan apa yang diisyaratkan Jayabaya dalam wangsitnya. Surat Al Ahzab ayat 33 menyatakannya dalam bentuk kalimat naratif sementara Jayabaya menyatakannya dalam bentuk istilah atau kata. Pada dasarnya semua itu merujuk pada satu sosok yang sama yaitu: Al Mahdi “The Hidden Imam” (Imam Tersembunyi) alias “Satria Piningit” (Satria Tersembunyi).
Sekian. Semoga bermanfaat. Salam.