Pada kenyataannya, waktu, adalah hal yang paling mendapat perhatian manusia sepanjang hidupnya. Dalam sehari semalam, tanpa kita sadari, kita mengamati waktu puluhan hingga ratusan kali, bahkan bisa jadi ada orang yang sampai ribuan kali.
TAPI, TAHUKAH KAMU DARI MANA KATA WAKTU BERASAL? MENGAPA DISEBUT WAKTU?
Kata ‘waktu’ yang kita gunakan dalam bahasa Indonesia, dapat kita lihat identik dengan kata ‘wagt’ dalam bahasa Turkmen (subetnis bangsa Turk yang tersebar di negara-negara Asia Tengah seperti Turkmenistan dan Afghanistan serta Iran timur laut).
Identik dengan kata ‘vaqt’ dalam bahasa Uzbek (sebuah etnis Turkik yang mayoritas penduduknya terletak di Uzbekistan, Asia Tengah).
Dan juga identik dengan kata ‘wakati’ dalam bahasa Swahili (merupakan bahasa resmi di Tanzania, Kenya dan Uganda, serta beberapa organisasi antar negara seperti Uni Afrika dan Komunitas Afrika Timur).
Bisa saya katakan bahwa, Ketiga bahasa ini (Turkmen, Uzbek, dan Swahili) adalah bahasa yang digunakan di wilayah di mana pelaut dan pedagang dari Nusantara beraktifitas pada masa kuno. Jadi, saya pikir sangat wajar jika kemudian kita menemukan adanya kesamaan leksikon dalam ketiga bahasa tersebut dengan leksikon dalam bahasa Indonesia.
Jejak hubungan pelaut dan pedagang dari Nusantara di masa kuno dengan ketiga wilayah ini telah saya bahas dalam artikel berikut ini:
Jejak Pedagang Nusantara di Asia Tengah pada Masa Kuno
Jejak Pedagang Nusantara di Asia Tengah pada Masa Kuno (Bagian 2)
Jejak Penambang Emas dari Kerajaan Tertua Sulawesi Selatan di Afrika (Sekitar Abad Ke 1 Masehi)
“Jejak Kuno” Unsur Nusantara di Kawasan Laut Merah dan Afrika Utara
Mengenai kata ‘TEMPO’ yang sinonim dengan kata waktu dalam bahasa Indonesia, kita bisa temukan kesamaannya dalam bahasa yang digunakan negara-negara yang berada di semanjung Iberia, yaitu: kata ‘temps’ dalam bahasa Catalan, dan kata ‘tempo’ dalam bahasa Portugis. Dalam bahasa Catalan dan bahasa Portugis, kata temps atau pun tempo berarti “waktu”.
Saya cukup yakin bahwa, kata tempo yang ada dalam bahasa Indonesia, kita kenal setelah bangsa Portugis datang ke Nusantara.
Mengenai kata ‘Zaman’, kita dapat temukan pula dalam bahasa Arab dan dan bahasa Turki, jadi, tampaknya, kita menyerap kata ‘zaman’ ketika kita berinteraksi dengan kedua bangsa ini.
Ada pun mengenai kata TIME dalam bahasa Inggris, sepintas kita tidak melihat adanya kesamaan fonetis dengan kata WAKTU, tetapi melalui penelusuran yang mendalam, kita akan menemukan adanya keterkaitan antara keduanya. Berikut ini ulasannya…
KAITAN ANTARA KATA ‘WAKTU’ DAN KATA ‘TIME’
Pemaparan bagian ini sedikit kompleks dan filosofis, karena itu, dibutuhkan peningkatan fokus dan kehati-hatian pembaca dalam mencermati. Walau pun ini bagian ulasan yang agak berat untuk dicerna, tapi saya pikir, sebenarnya inilah bagian paling menarik dari artikel ini.
Pertama-tama, saya ingin menyatakan hasil pencermatan saya bahwa tampaknya, suku kata ‘TU’ di belakang kata WAK-TU, terkait dengan suku kata ‘TU’ pada kata TUAN (atau TUHAN), dan terkait pula dengan suku kata ‘TU’ pada kata SATU.
Dengan kata lain, TU adalah bentuk dasar dari kata ‘Waktu’, ‘Tuan’, dan kata ‘Satu’.
Jadi, ‘an’ di akhir kata TUAN sebenarnya adalah sufiks (imbuhan) yang membentuk nomina (kata benda).
Begitu pula awalan ‘sa’ pada kata SATU, juga adalah imbuhan, yang maknanya sama dengan awalan sa’ pada kata ‘sakarep’ dalam bahasa Jawa, yang artinya: sesuai atau sama dengan.
Jadi, dengan menggunakan pemahaman ini, kita dapat melihat bahwa makna dari kata SA-TU adalah: sesuai (atau sama) dengan TU.
Pertanyaan penting yang kemudian timbul adalah: apakah TU itu? mengapa menjadi bentuk dasar dari kata WAKTU, kata TUAN, dan kata SATU?
Sampai di sini, mudah saja kita kemudian beramsumsi bahwa TU adalah sebutan untuk SANG PENGUASA ALAM SEMESTA.
Tapi, saya tidak ingin asumsi itu (walau pun sudah benar) kemudian menyudahi penelusuran ini. Saya ingin ada penguatan lain, terutama dari literatur yang menyatakan bahwa TU memang merupakan sebutan yang digunakan oleh orang-orang di masa kuno untuk menyebut entitas Pencipta dan Penguasa Alam Semesta ini. Dan Alhamdulillah, kita masih bisa mendapatkan penguatan tersebut.
Kita dapat melihat bahwa tampaknya, bentuk TU ada keterkaitan dengan kata TAO (dalam tradisi Cina), dan TA atau RTA (dalam tradisi Hindu)
KESAMAAN TU (INDONESIA), TAO (CINA), DAN TA/ RTA (HINDU)
Dalam tradisi Cina, TAO diartikan atau merujuk pada “tatanan alam alam semesta”.
Cane, Eulalio Paul (2002) dalam buku “Harmony: Radical Taoism Gently Applied” mengatakan bahwa: Tao secara kasar dapat dianggap sebagai aliran Alam Semesta atau sebagai esensi atau pola di balik alam yang menjaga keseimbangan dan keteraturan Alam Semesta.
TAO adalah prinsip non-dualistik—itu adalah keseluruhan, yang lebih besar dari segalanya, yang darinya semua elemen individual Semesta berasal. Dalam ajaran Islam pemahaman ini tersaji dalam ungkapan “Allah Maha Besar” (Allahu Akbar).
Kalangan TAOISME di Cina menganggap TAO adalah; Jalan, metode, doktrin, atau prinsip. Ia adalah cara seseorang melakukan sesuatu. Orang yang bertindak sesuai prinsip atau jalan TAO, berarti ia menyelaraskan dirinya dengan ‘cara kerja alam semesta’ – yang pada akhirnya, ia bisa dikatakan sesuai dengan kehendak TUHAN.
Dalam perkembangannya, kata TAO dipergunakan dalam bentuk metafora, filosofis, maupun agama. Situasi ini saya pikir persis dengan apa yang terjadi terhadap bentuk TU dalam bahasa Indonesia.
Dalam bahasa Indonesia TU kita temukan digunakan pada kata TUHAN (atau TUAN) dalam aspek keagamaan.
TU kita temukan pula digunakan dalam bentuk metafora pada frase ORANG TUA. Ini sebenarnya frase metafora. Bahwa, orang yang sudah berumur, telah mencapai tingkat prilaku yang lebih bijaksana (jika dibandingan dengan orang yang muda), yang mana hal itu menunjukkan telah adanya potensi keselarasan diri dengan TU.
Dan TU, seperti yang telah saya ungkap di atas, kita temukan pula digunakan dalam variable bahasa, yaitu pada nama angka SATU. Penggunaannya di sini bersifat filosofis. Tu digunakan pada angka satu karena bertujuan Ingin menyatakan bahwa TU adalah yang paling awal.
Dan sebenarnya masih banyak lagi aspek kehidupan, di mana TU digunakan oleh orang-orang di masa kuno (di Nusantara). Mereka mengintegrasikannya dalam spektrum yang luas pada berbagai praktik sendi kehidupan, seperti ritual keagamaan, budaya, supernatural, renungan, dsb.
Yang menarik, jejak TU sebagai terminologi yang disakralkan di masa kuno, dapat pula kita temukan dalam tradisi Hindu, yakni pada terminologi TA atau RTA.
Dalam Veda, TA ( / ɹ̩ta / ; Sanskrit ऋत RTA “tatanan, aturan; kebenaran; logos”) dijelaskan sebagai prinsip keteraturan alam yang mengatur dan mengkoordinasikan operasi alam semesta dan segala isinya. Dapat kita lihat bahwa definisi TA ini, bisa dikatakan, persis sama dengan definisi TAo di Cina.
Dalam himne Veda, TA digambarkan sebagai yang pada akhirnya bertanggung jawab atas berfungsinya tatanan alam, moral dan pengorbanan.
Cendekiawan Sanskerta Maurice Bloomfield menyebut TA sebagai salah satu konsepsi keagamaan terpenting dari Rgveda.
Selanjutnya Maurice Bloomfield juga mencatat bahwa, “dari sudut pandang sejarah gagasan keagamaan, kita mungkin, pada kenyataannya, harus, memulai sejarah agama Hindu setidaknya dengan sejarah konsepsi ini.”
Dalam Rgveda, istilah TA muncul sebanyak 390 kali, dan telah dicirikan sebagai “satu konsep yang meliputi seluruh pemikiran veda”.
Dalam teks-teks Veda paling awal, TA sebagai prinsip etis, dikaitkan dengan gagasan ganjaran kosmik. Ini merupakan konsep sentral dari veda yang menyatakan bahwa makhluk-makhluk yang diciptakan —memenuhi kodrat sejati mereka —ketika mereka mengikuti jalan yang ditetapkan untuk mereka oleh tata cara TA, dan kegagalan untuk mengikuti tata cara tersebut dianggap bertanggung jawab atas munculnya berbagai bentuk malapetaka dan penderitaan.
KESAMAAN TA (DALAM TRADISI HINDU) DENGAN ASA (DALAM TRADISI AVESTAN)
TA atau RTA dalam Veda setara dengan ASA dalam tradisi Avestan (tradisi Iran kuno). ASA dalam tradisi Avestan (konsep Zoroaster) dimaknai sebagai rentang makna yang kompleks dan sangat bernuansa.
Padanan ASA dalam bahasa Persia Kuno adalah ARTA. Dapat kita lihat bahwa pada kata ARTA kembali kita melihata adanya bentuk TA.
Dan yang penting pula untuk dicermati adalah bahwa, tampaknya, dari bentuk TA atau TU, orang-orang di masa kuno melahirkan kata SATU. Sementara dari bentuk ASA (dari tradisi Avestan) orang-orang di masa kuno melahirkan kata ESA (yang juga berarti satu).
Ini dengan sendirinya dapat menjadi fakta untuk hipotesis saya bahwa, TU pada kata SATU memang berasal dari entitas TU yang disakralkan orang-orang di masa kuno.
Jadi ketika pemahaman tentang TU atau TA diadopsi oleh orang Avestan dengan mengubah sebutannya menjadi ASA, dari ASA ini pula mereka lalu lahirkan nama atau sebutan untuk angka pertama, yaitu ESA.
SUKU KATA ‘TI’ PADA KATA ‘TIME’ BERASAL DARI BENTUK ‘TA’
Dalam tata bahasa Inggris, terkait cara penyebutan abjad, kita menemukan fakta bahwa, terkadang O dibaca U, kadang pula dibaca A.
Lalu yang tertulis A, kadang dibaca EI atau E (penghilangan I).
Sementara yang tertulis E, kadang dibaca I.
Saya mengungkap tata bahasa Inggris ini, dengan tujuan men-drive pembaca mengikuti asumsi saya bahwa, bisa jadi, dari bentuk awal TO, seiring berjalannya waktu (mungkin berlangsung selama ribuan tahun) kemudian berubah menjadi TU, lalu dari TU menjadi TA, lalu TE, dan akhirnya menjadi TI.
Jadi, ada kemungkinan bahwa bentuk TU pada kata waktu, seiring berjalannya waktu, berubah menjadi TI pada kata TIME (dalam bahasa Inggris atau Indo-Eropa secara umum).
Dengan menggunakan pertimbangan ini, kita dapat berasumsi bahwa bisa jadi, kata TIME merupakan gabungan dua frase, yaitu: TI dan ME (yang berarti SAYA dalam bahasa Inggris).
Jadi, secara harfiah TI-ME berarti: TI SAYA. Dimana, jika TI kita asumsikan sebutan untuk Tuhan, pemaknaan lengkap untuk kata TI-ME mestinya menjadi: “TUHAN SAYA”.
Hasil pemaknaan TIME ini tentu sangat menarik, karena menyatakan bahwa TIME atau WAKTU adalah TUHAN.
Menarik, karena makna ini sesungguhnya dapat kita temukan selaras dengan bunyi hadis qudsi yang berbunyi:
”Allah ’Azza wa Jalla berfirman,’Aku disakiti oleh anak Adam. Dia mencela waktu, padahal Aku adalah waktu, Akulah yang membolak-balikkan malam dan siang.” (HR. Muslim no. 6000)
Dalam literatur yang mengulas bunyi hadist ini, biasanya kita menemukan kata ‘pengatur’ dalam tanda kurung yang diletakkan diantara kata ‘adalah’ dengan ‘waktu’. Jadi bentuk tulisannya menjadi: Aku adalah (pengatur) waktu.
Saya melihat tindakan ini justru menghindarkan orang untuk mengenal Tuhan.
Kenapa memang, jika Tuhan mengatakan dirinya adalah waktu? apa tidak percaya? atau karena nalarnya tidak sampai, lalu mengarahkan pemaknannya ke bentuk lain?
Pengakuan Tuhan bahwa DIA adalah Waktu, sebenarnya telah terjawab oleh sains.
Teori Relativitas Einstein telah menjawab hal ini. Secara gamblang, Einstein memberi tahu kita bahwa, waktu itu adalah ruang. Dalam teorinya, Einstein menyatakan dengan istilah Ruang-Waktu (Spacetime).
Sebagai sebuah ruang, waktu dapat dilalui. Ada entitas yang dapat melaluinya dengan kecepatan yang lebih dari kecepatan entitas lainnya.
Contohnya, Cahaya bintang yang berada sangat jauh dari bumi memerlukan jutaan tahun untuk bisa sampai ke Bumi sehingga bisa dilihat oleh mata telanjang manusia di bumi.
Tetapi, dengan bantuan teleskop (seperti yang dimiliki NASA), para ilmuwan bisa melihat bintang yang jutaan tahun kemudian baru dapat dilihat manusia yang hanya menggunakan mata telanjang.
Intinya, pada prinsipnya, waktu adalah ruang teramat sangat luar biasa besar. Waktu adalah alam semesta itu sendiri.
Jadi ketika tata bahasa memasukkan kata ‘waktu’ sebagai kata benda, itu bukan berarti waktu adalah kata benda abstrak apa lagi tidak dapat dilihat.
Waktu adalah kata “untuk benda yang sangat sangat sangat besar” – meminjam pemahaman TAO, kita dapat menjelaskan bahwa waktu adalah: keseluruhan, yang lebih besar dari segalanya, yang darinya semua elemen individual Semesta berasal. Inilah makna esensi dari kalimat “Allah Maha Besar” (Allahu Akbar) dalam tradisi Islam.
Sebelum mengakhiri artikel ini, saya ingin kembali sedikit membahas konsep TAO yang dibahas dalam tulisan-tulisan paling awal yang membahas tentang TAO, yaitu dalam Tao Te Ching, yang menyatakan bahwa “TAO adalah Dia yang tidak disebutkan namanya, yang tidak dapat diungkapkan atau dipahami dalam bahasa.”
Bunyi pernyataan “Yang tidak dapat disebut namanya” mengingatkan saya bunyi ayat pertama dalam Surat al-Insan atau ad-Dahr, yaitu:
“Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut?“ (QS.76:1)
Secara intuitif, saya melihat bahwa bisa jadi, penjelasan dalam Tao Te Ching yang menyatakan bahwa TAO adalah “yang tidak dapat disebut namanya” berkorelasi dengan bunyi ayat pertama dari surat Al Insan ini.
Dan, menjadi penjelasan yang masuk akal, mengapa bentuk TU kita temukan pula pada kata ITU dalam bahasa Indonesia.
Bukankah kata ITU umumnya kita gunakan untuk menyebut sesuatu yang kita tidak tahu atau tidak dapat sebut namanya?
Demikian ulasan ini. Semoga bermanfaat. Salam.